Cerpen : Halo, Aku Kania

 

  karya Mendung Asa

Bagi Kania, memiliki seorang teman adalah sesuatu hal yang terasa mustahil baginya. Bukan berarti Kania tidak memiliki teman. Ia punya, namanya Daniella, biasa dipanggil Dani. Kalau saja saat SD, Dani tidak bersikeras untuk mendekatinya, Kania mungkin tidak akan pernah memiliki teman sekarang. Jika Kania adalah sosok yang pendiam dan antisosial, maka Dani sebaliknya. Dani adalah seorang selebgram yang namanya tidak jarang jadi trending twitter. Followers-nya sampai berjuta-juta, berbanding terbalik dengan Kania yang bahkan tidak memiliki sosial media sama sekali. Kania adalah manusia dalam gua, Kania akui itu.

Sudah seminggu lamanya, Kania pindah dari kota kelahirannya, Bandung. Kalau saja ayahnya tidak dipindahkan oleh perusahaannya, mungkin sekarang Kania masih berada di Bandung, bersekolah di SMA-nya, dan akan terus direcoki oleh Dani—yang kebetulan menjadi teman sebangkunya—dengan berbagai macam curhatan hidup Dani yang unik. Bisa dikatakan, Kania sudah cukup bahagia hidup selama 18 tahun di Bandung. Namun, apa yang bisa ia lakukan jika ayah mengatakan bahwa ia harus pindah? Kania tidak bisa berbuat apa-apa tentang hal itu.

Tok tok tok…

Kania menoleh sedikit untuk memandang pintu kamarnya yang diketuk, ibunya masuk, lalu mengambil tempat untuk duduk di ujung ranjang Kania. Kania diam memperhatikan ibunya, menunggu sampai ibunya yang duluan berbicara kepadanya.

“Besok kamu sekolah loh,” kata ibunya sambil tersenyum simpul.

Kania mengedipkan matanya beberapa kali lalu menanggapi, “Iya, terus kenapa, Ma?”

Ibunya itu menggelengkan kepalanya, “Mama kira kamu gugup untuk besok, jadi mama temani kamu. Siapa tahu kamu mau cerita ke mama?”

Kania mengerutkan dahinya karena keheranan. Pasalnya, Kania tidak pernah melakukan sesi curhat apapun dengan ibu atau ayahnya. Kania adalah sosok pemendam, selagi ia bisa melakukannya sendiri dan selagi ia bisa menyanggupi masalahnya sendiri, Kania tidak akan membahasnya dengan orangtuanya. “Kania biasa saja, Ma,” jawab Kania pada akhirnya. Jawaban yang kebenarannya lima puluh-lima puluh.

“Kamu yakin? Kamu bakal beneran sendirian loh. Ga ada Dani. Kamu gapapa?”

“Ya… gapapa. Apa bedanya kalau ada Dani sama kalau gaada Dani?”

Ibunya menghela napas, lalu mengusap kepala anaknya dengan lembut, “Memang kamu tidak kesepian? Kamu kan dari dulu ga bisa cari teman. Kalau Dani ga ngintilin kamu terus, kamu mungkin sampai sekarang gaakan punya teman.”

“Mama, aku ngantuk. Besok aja ya bahasnya? Udah malam juga.” Kania menutup bukunya, lalu buru-buru mengambil posisi yang paling nyaman untuk tidur. Ibunya yang tentu sangat mengenal anaknya, mengerti dengan kode yang diberikan Kania. Kania tidak ingin membahas topik teman, topik teman adalah topik yang sangat sensitif untuknya.

Akhirnya, ibunya keluar setelah ia mematikan lampu kamar anaknya. Menyadari bahwa tidak ada siapapun di dalam kamar, Kania langsung membuka matanya. Ia menghela napas untuk beberapa saat. Tiba-tiba hatinya dirasuki oleh perasaan mellow yang teramat. Iapun kembali ke posisi semula—posisi sebelum ia memutuskan untuk tidur. Ia meraih lampu tidur di meja nakas kecil di sebelahnya. Setelah dihidupkannya lampu tersebut, kembali ia membuka buku yang tadi sempat ia baca sepuluh halaman di awal. Judul buku itu adalah Cara Memiliki Teman.

Ada beberapa tips dan penjelasan tentang cara memiliki teman yang dijelaskan di dalam buku itu. Menurut pendapat Kania, hanya orang tidak waras yang bisa melakukannya. Misalnya seperti Dani. Tips yang ada di buku persis sekali dengan tips yang dilakukan Dani untuk berteman dengannya. Membayangkan dirinya menjadi Dani yang masih SD dulu, berhasil membuat Kania merinding. Belum mencoba, Kania sudah pesimis. Semua tips ini, benar-benar menentang sifatnya yang sudah ada sejak lahir.

Tiba-tiba hp Kania berdering, tertera nama Dani di sana. Senyum Kania tercetak, lalu melebar bertepatan ia mengangkat dan menyapa Dani yang menelepon. “Dan, hei,” sapa Kania dengan kalem, padahal jauh di lubuk hati terdalamnya, ia sangat senang karena Dani tidak melupakannya.

“Gue kangen banget sama lo! Asli deh! Lo napa pindah sih?” Berbanding terbalik dengan Kania, Dani membalas sapaan Kania dengan nada super tinggi dan super antusias.

            “Kan gue udah cerita ke elo. Masa harus ulang lagi.”

            “Bener juga, gue iseng nanya lagi aja. Siapa tahu lo mau nyeritain lagi kan?” Kania tertawa mendengar perkataan Dani.

            “Lo di sana cari temen ya. Jangan sampe sendirian. Sedih gue mikirinnya, mengingat lo kan ansos banget, Nyet!” Ahh… akhirnya nama julukan Monyet itu keluar juga dari mulut Dani. Julukan paling sakral karena hanya Dani yang boleh memanggilnya begitu.

“Gue ga tau gimana caranya punya teman. Lo tau ga? Gue sampe baca buku Cara memiliki Teman.”

“Pftt… lo becanda ya? Eh, Nyet! Dengerin gue ya, untuk bisa dapet teman, lo ga perlu teori. Langsung gas aja!”

Cara Dani terlalu bar-bar untuk seorang Kania yang kalem. Kania tidak bisa, banyak sekali kecemasan yang ia simpan, misalnya ia takut kalau teman yang didekatinya akan ilfeel dengannya atau temannya nanti akan menyebutnya aneh, atau yang lebih buruk lagi, mereka akan menertawakannya. Mengerikan sekali, pikir Kania. “Gue ga bisa gitu, Dan. Canggung banget dan kesannya jadi sok banget.”

“Terus mau sampai kapan lo begini? Lo mau bersembunyi di kotak lo terus? Terus kapan majunya lo, Nyet! Yaudah deh, gini aja, lo baca aja deh itu bukunya. Gue do’akan lo dari sini. Jangan sampai sendirian ya, Nyet!”

***

Kania berjalan mengikuti langkah wali kelas barunya yang kini berjalan mendahului dirinya. Jantungnya berdegup sangat kencang, ia sangat gugup sampai rasanya tidak sanggup baginya untuk sekedar berjalan dengan percaya diri. Kania hanya ingin menunduk, sehingga dia bisa menghindari tatapan teman-teman sekelasnya nanti.

Wali kelasnya masuk duluan, sepertinya memberikan informasi terlebih dahulu kalau akan ada murid baru yang akan masuk ke kelas mereka. Kania belum disuruh masuk, alhasil dia harus menunggu sebentar di depan kelas sampai mendapat kode dari wali kelas barunya. Dari luar, Kania dapat mendengar sorakan antusias. Apakah mereka antusias karena akan ada anak baru di kelas mereka? Kania menggelengkan kepalanya. Ia yakin sekali, ketika teman sekelasnya itu tahu kalau anak baru itu adalah anak pendiam, pengecut, pemalu, dan antisosial sepertinya, pasti antusiasme itu akan menghilang, bergantikan dengan kekecewaan. Iya, pasti begitu. Batinnya berbicara.

“Kania silahkan masuk. Ayo perkenalkan diri dulu.”

Dan semua itu terjadi sesuai dengan perkiraannya. Antusiasme itu memudar seketika, Kania melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dirinya memang tipe teman yang membosankan. Mau tak mau, Kania pun mulai memperkenalkan dirinya di depan kelas dengan suaranya yang sangat pelan.

Kania duduk di kursi kosong yang terletak di meja paling belakang. Iya, paling belakang dan sederetan dengan sekumpulan laki-laki yang sangat berisik. Sangat mengganggu keseriusannya untuk belajar. Fokus Kania pada buku itu pecah, pandangannya jadi teralihkan ke arah sekumpulan anak perempuan yang sedang membentuk lingkaran di salah satu kelompok meja. Mereka sangat ramai, mungkin hampir seluruh anak perempuan kelas ini ada di sana. Mereka sangat berisik, tapi percakapan mereka terlihat sangat seru. Kania ingin juga berada di tengah-tengah mereka, tapi dirinya tidak berani untuk melakukan semua itu.

Di saat-saat seperti ini, dia sangat merindukan temannya—Dani. Ia sangat berharap kalau di sebelahnya akan ada Dani yang akan terus merecokinya sampai ia kesal. Rasanya Kania ingin menangis saja, ia benar-benar merasa kesepian. Ia merasa sangat asing ada di sini. Apa yang harus ia lakukan? Berjalan ke sana, lalu memperkenalkan diri? Kania merinding lagi. Ia tidak berani. Ia tidak ingin merusak suasana menyenangkan itu menjadi kecanggungan yang menyebalkan karena dirinya.

Tidak tahan dengan air mata yang terus mendesak, Kania bangkit, lalu memilih untuk berjalan ke luar kelas. Ia ingin ke toilet saja, ia ingin membasuh wajahnya agar perasaannya bisa membaik. Semoga saja. Selama berjalan, Kania tanpa sadar menahan napasnya ketika melewati kelompok perempuan yang ramai itu. Setelah ia sampai di luar, ia langsung berlari menuju toilet yang sebenarnya ia juga tidak tahu dimana letaknya.

Sepuluh menit, waktu yang ia habiskan untuk menemukan toilet. Setelah dibasuhnya wajahnya dengan air, ia memandang wajahnya yang ada pada cermin. Wajah ini, terlalu lemah. Dirinya menyebalkan. Kenapa ia bisa menjadi sepengecut ini?

Hpnya berdering lagi, saku roknya jadi bergetar. Diraihnya hp itu dari dalam saku, tanpa melihat siapa yang menelepon, Kania langsung saja mengangkat telepon tersebut.

“Eh Monyet! Gimana? Udah dapet?” Ternyata Dani yang meneleponnya. Mendengar pertanyaan Dani, Kania jadi menitikkan air matanya. Ia merasa sangat sedih. Ia benar-benar berharap Dani ada di sini dan membantunya. “Loh nangis ya? eh, Nyet!  Kok lo nangis sih?”

“Gue kesepian, Dan. Gue gak bisa dapat temen di sini, walaupun cuma satu orang. Gue takut sendirian. Sendirian kayak gini, bikin gue jadi orang aneh.”

            “Lo gak aneh, Kan. Lo itu emang pendiem aja. Banyak kok orang yang kayak lo, jadi itu bukan hal yang aneh.” Dani kebingungan, tapi ia tetap berusaha untuk menghibur Kania. Beberapa saat, ia biarkan Kania menangis, sampai akhirnya Dani muak. “Kania, lo berhenti nangis ah! Gue ga suka!”

            “Gue lagi sedih! Ngertiin dong!”

            “Lo mau sampai kapan kayak gini hah? Yang bisa ngubah keadaan hidup lo itu, ya cuma lo doang, Nyet! Lo mau dapat teman, ya lo sendiri juga yang harus berjuang! Lo juga harus usaha! Ayo keluar dari kotak lo! Berkumpul sama yang lain!”

            “Tapi kan gue udah keluar dari kotak gue, Dan. Kalau gue belum, kenapa gue bisa temenan sama lo?"

            Di seberang sana, Dani memutar bola matanya dengan malas. “Selama ini lo bukan keluar dari kotak lo, tapi gue yang masuk ke kotak lo. Sekarang yang gue minta, bukan lo mengajak orang untuk masuk ke kotak lo, tapi lo yang harus keluar dari kotak itu. Be free, my friend.

            Sembari menelepon, Kania kembali membasuh wajahnya. Ditatapnya wajahnya sendiri di depan cermin dengan tatapan penuh tekat, lalu dia mengangguk dengan semangat memburu. Aku pasti bisa! Batinnya berteriak kencang menyemangati. “Gue harus apa untuk keluar dari kotak gue, Dan?”

            “Melangkah. Lakukan langkah pertama lo. Cukup itu aja untuk mengubah semuanya. Memulai itu sulit loh, Nyet. Kalau lo bisa, berarti lo udah keluar. Gimana? Mau coba?”

            Kania mengangguk yakin, “Gue coba.”

            Kania berhenti berjalan, saat ia sudah sampai di depan kelasnya. Di dalam, suasana berisik dan ramai masih sama seperti sebelum ia keluar. Jantungnya benar-benar berdegup kencang, ia gugup sekali. Apakah ia benar-benar bisa melakukan langkah pertamanya? Apakah ia benar-benar bisa berhenti menjadi seorang pengecut? Harus bisa!

            Kania mengepalkan tangannya. Kepala yang tadinya tertunduk, ia angkat dengan percaya diri. Dalam diam, ia mengatur napasnya yang berderu. Tidak lupa ia mengatakan kepada dirinya kalau dia bisa, dia bisa keluar dari kotaknya dan melakukan langkah pertama. Apapun yang terjadi nanti, entah itu baik atau buruk, setidaknya Kania sudah mencoba. Setidaknya ia berhasil melakukan langkah pertamanya.

            Kania berjalan masuk ke dalam kelas. Tidak ada satupun orang yang menyadari dirinya yang tengah berjalan masuk, sampai ia menghentikan langkahnya tepat di dekat segerombolan anak perempuan kelasnya berkumpul. Kebisingan yang mereka hasilkan, mereda. Salah satu dari mereka menyadari kehadiran Kania, hal itu membuat seluruh fokus jadi tertuju kepada dirinya. Sekarang apa yang harus ia lakukan?

            Ia harus tersenyum.

            “H-Hai, aku Kania. Boleh gabung?”

            Hening menyelimuti sejenak, hingga…

            “Boleh dong! Astaga! Hai Kania! Sini, duduk sini!”

            “Ga usah malu-malu. Kita ga makan orang kok!”

            Senyum Kania melebar sempurna. Ia berhasil. Ia berhasil melakukan langkah pertamanya. Sekarang ia sudah bebas dari kotak yang dibuatnya sendiri.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan dulu yuk!

Cerpen : Buku Hitam

Cerpen : Tentang Kata yang tak Terutarakan