Cerpen : Buku Hitam

Karya Mendung Asa

Matanya bergerak panik seiring dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Keringatnya bercucuran, napasnya terengah-engah. Sedikit lagi saja dengan sekali lompatan ia akan berhasil melewati gerbang maut itu. Tidak peduli dengan tatapan sekitarnya, tidak peduli dengan burung kecil yang bersiul-siul dengan merdu, ia terus berlari berharap guru masih memperbolehkannya masuk kelas. Namun sepertinya dewi fortuna sedang tak berpihak padanya. Sesuatu menyandung kakinya, tubuhnya terhempas, terjatuh, bahkan terpental. Buku yang dipegangnya lolos dari tangannya. Meluncur beberapa meter di depannya. Sial, satu umpatan lolos dari mulut manisnya. Dengan keadaan kaki dan siku yang tergores bahkan nyaris luka, ia berdiri mengumpulkan bukunya dengan gerakan kilat. Tidak peduli lagi dengan rasa malu karena di pikirannya hanya satu, masuk kelas dan belajar.

“SAYA TELAT!” teriaknya tanpa sadar. Semua orang menatapnya dengan tatapan aneh. Sadar dengan apa yang ia lakukan, ia segera menutup mulutnya kemudian menutup wajahnya. Malunya baru terasa sekarang. Kosong di kursi guru, ternyata belum ada guru yang masuk. Berusaha mengusir rasa malu itu, dengan gerakan tergesa-gesa ia duduk di kursinya.

Perempuan itu meletakkan barang-barangnya di atas meja. Ia menghela napas dan menunduk. Ia kesal dengan dirinya yang begitu ceroboh. Untuk kesekian kalinya ia kembali menghela napas, namun kali ini seraya merapikan buku-bukunya tadi. Tidak sengaja tatapannya tertuju kepada buku hitam yang kini berada di pegangannya. Ini bukan punya ku, ia berbatin. Ia penasaran, namun entah kenapa jantungnya berdegup-degup kencang. Ia tidak berani membukanya, seakan ada yang menahannya.

Tak terasa waktu istirahat tiba. Perempuan itu berjalan menuju tempat favoritnya. Taman belakang di bawah pohon besar lengkap dengan beberapa ekor burung yang berkicau-kicau merdu kesenangan. Ia berjalan dengan tangan kanan yang memegangi bekal yang hanya berisi dua roti coklat kesukaannya dan tangan satunya memegang buku hitam yang entah siapa pemiliknya.

Ia duduk, lalu menyandarkan punggungnya. Kakinya ia selonjorkan menciptakan rasa nyaman di sana. Tidak peduli dengan kotornya tanah dan rumput, ia merasa seolah sudah menyatu. Ia membuka bekal, memasukkan sebagian roti ke dalam mulutnya. Coklatnya meleleh ketika ia menggigiti rotinya. Enak, ia suka coklat.

Lagi-lagi perhatiannya kembali pada buku hitam yang sudah tergeletak begitu saja di atas tanah. Perempuan itu meraih buku tersebut, lalu membolak-balikkannya. Siapa tahu ada nama pemilik buku itu tertera di sana. Akan tetapi hasilnya nihil. Tidak ada apa-apa. Perempuan itu kembali menghela napas. Tak terhitung sudah berapa kali ia sudah menghela napas, ia lelah dan terus saja mengeluh. Ya, ia hanya bisa mengeluh.            

Kesal rasanya, ia melempar buku itu kembali ke tanah tak jauh dari posisi duduknya. Ia menatap buku itu seakan buku itu adalah musuh terbesarnya atau seakan ia melihat adiknya yang sudah ia anggap setan itu pada buku itu. Dua pertanyaan timbul di pikirannya. Pertama, kenapa dia merasa penasaran terhadap buku itu. Kedua, kenapa dia tidak berani membuka buku itu?

Ah kesal sekali, ia mati penasaran. Tidak peduli dengan privasi seseorang, ia kembali mengambil buku itu dan membukanya. Baru saja ia membaca halaman pertama, matanya sudah dibuat mau lepas. Di sana tertulis, Yang membuka buku ini tanpa izin akan mandul. Tak pikir panjang, perempuan itu langsung melempar buku tersebut. Tidak mau lagi memikirkan etikanya kepada buku yang entah siapa pemiliknya, demi apapun ia tidak ingin mandul. Tetapi sepertinya memang sudah jodohnya perempuan itu untuk membaca si buku hitam, ketika perempuan itu melempar tak sengaja buku itu terbuka pada halaman yang entah ke berapa.

Si perempuan curi-curi pandang. Ia sangat penasaran sampai rasanya ada yang mengganjal di dadanya. Nalurinya berkata ia harus membaca halaman itu, tetapi otaknya seolah menahan. Ia menggigit bibirnya, kembali menimbang-nimbang. Sial, rasa penasarannya memuncak. Ia berdiri, mengambil buku tersebut dan membacanya.

Si perempuan membeku. Setiap kata-katanya ia cerna dan ia telan. Otaknya memproses. Bukannya terlalu percaya diri, tetapi kenapa ia merasa semua tulisan yang berada di sana seolah sedang menjelaskan dirinya? Untuk dirinya yang mencintai coklat dan kicauan burung-burung kecil di taman sekolah. Untuk dirimu, Rania yang ku rindukan.

“A-aku?” gumamnya.

“Iya kamu.”

Perempuan itu, Rania namanya. Ia menoleh ke asal suara yang baru saja menanggapinya. Rania terdiam ketika menemukan sosok laki-laki jangkung dengan rambut yang acak. Mata Rania membulat, ia menutup mulutnya karena terkejut.

“Kenapa dibaca? Nanti kamu mandul,” kata laki-laki itu sambil tertawa kecil. Matanya menyipit hingga lesung pipinya terlihat. Begitu menawan, pikir Rania.

Rania tidak bisa berkata-kata. Ia terlalu terkejut. Namun, berbeda dengan si laki-laki yang sudah menduga tanggapan perempuan pendek di depannya. Senyumnya semakin lebar, ia pun maju satu langkah mendekat ke arah Rania.

“Rania, boleh aku mencintai kamu seperti kamu mencintai coklat dan kicauan burung di taman sekolah?”

Rania tak bisa berkata-kata. Jika ditanya saat itu saat apa, maka Rania akan menjawab itu adalah saat kisahnya dengan dirinya yang urakan dimulai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan dulu yuk!

Cerpen : Tentang Kata yang tak Terutarakan