Cerpen : Tentang Kata yang tak Terutarakan
Karya Mendung Asa
Kata ini tidak
berani aku utarakan, walau dalam secarik kertas yang sengaja aku tuliskan,
untuk sekedar menuliskan kata aku di
sana sebagai sudut pandang, aku enggan dan tidak memiliki keberanian. Itulah
mengapa sejak awal kata ini tidak pernah terutarakan. Keberanianku tidak ada.
Ini persoalan
hati, hati yang diam-diam terus mengira-ngira, bertengkar dalam diam dengan
akal yang selalu berusaha mengingatkan untuk tidak perlu berharap, tidak perlu
berekspetasi, karena jikalau nanti yang terjadi sebenarnya tidak sejalan, maka aku
akan tersakiti. Setiap malam aku merenung, memikirkan kenapa bisa aku mengambil
keputusan untuk bersamamu dahulu, padahal sebenarnya aku tidak pernah berniat
untuk memulai, apalagi mencari. Hubungan yang kamu janjikan kebahagiaan di
dalamnya, justru membuatku takut. Takut jikalau pada akhirnya, semesta berkata tidak untuk kita, padahal aku sudah
terlanjur jatuh kepadamu. Jika aku serahkan seluruhnya, jika aku
anggukan setiap kata manismu, lantas apa yang akan tersisa nanti dari diriku
untuk bertahan? Tidak ada, aku akan menjadi hancur sehancur-hancurnya.
Ada beragam
rasa, ada beragam emosi yang ada. Kamu mengajarkanku bagaimana rasanya mencintai
seseorang sebanyak itu, mengajarkanku
bagaimana rasanya takut kehilangan, dan mengajarkanku bagaimana rasanya
berjuang untuk terus menggenggam. Sejujurnya aku tidak paham sama sekali dengan
hubungan, seperti apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku berikan dan
apa yang pantas untuk aku dapatkan. Aku takut menjadi seseorang yang terlalu
menuntut, maka aku memilih untuk membebaskan. Namun, di satu sisi aku takut
jika kebebasan yang aku berikan menjadi boomerang
untuk diriku sendiri. Contohnya, bagaimana jika kamu pergi karena kamu
berpikir aku terlihat tidak peduli?
Dalam hubungan
ini, sejujurnya aku lebih banyak menyembunyikan. Aku ingin terbuka karena
memang kita menjanjikan hubungan yang terbuka, dimana kita akan saling berbagi
banyak hal, entah itu senang, sedih, ataupun duka. Namun, kamu membuatku enggan
untuk menjadi terbuka. Bagiku, kamu itu sangat sulit dijangkau tau? Aku merasa kamu itu seperti ingin
menutup diri, seperti tidak ingin berbagi apapun denganku. Aku tidak pernah
berharap materi apapun, aku hanya menginginkan keterbukaan dari kamu yang
terasa sudah tidak lagi aku dapatkan. Semua ini membuatku bertanya-tanya, apakah
sudah hilang rasa nyaman itu? Tidak nyaman ya buat kamu untuk menunjukkan sisi
lemah kamu kepadaku?
Lantas aku jadi
berpikir, apakah sejak awal aku yang kurang terbuka, sehingga kamu enggan untuk
terbuka kepadaku? Saat itu—ketika aku
mempertanyakan pertanyaan itu kepada diriku sendiri—aku sedang tertidur di atas
ranjang seraya memandang atap rumah yang berwarna putih. Di beberapa bagian
atapnya ada lubang yang bocor, begitupun dengan keadaan hatiku yang sama terasa
bocor. Perasaanku berubah menjadi tidak tenang. Lalu aku mulai mencari cara
untuk memperbaiki diriku yang mungkin salah.
Maka dari itu, sejak malam itu, aku memutuskan untuk terbuka. Aku akan
menceritakan semua masalah, aku akan membuat kamu merasa dibutuhkan. Aku
berusaha memperbaiki diriku menjadi lebih baik—menjadi yang kamu harapkan.
Kebetulan di
hari-hari setelahnya, aku diterpa banyak sekali masalah. Masalah fisik dan
batinku, mental dan pergulatan hati. Aku menceritakan semuanya, benar-benar
semuanya. Namun, berhari-hari setelahnya, lama kelamaan seiring dengan
perjalanan waktu yang terus berlalu, kenapa tanggapanmu terasa hambar?
Tanggapanmu terasa dipaksakan, seolah kamu benar-benar tidak berniat untuk
mendengarkan. Tanggapanmu dingin sekali, seperti minim kepedulian, kamu mendengarkan
seperti hanya karena ada status yang menuntut kamu untuk seperti itu. Tanggapanmu
membuat aku merasa sedih. Kemudian aku memutuskan untuk tidak menceritakan
apa-apa lagi. Tapi aku masih berusaha bercerita sesekali, berharap diam-diam,
mungkin tanggapanmu bisa jadi menyenangkan dan mungkin kamu juga mau berbagi
masalahmu denganku?
Dahulu kamu
pernah bertanya kenapa aku selalu bercerita duluan kepada sahabatku dibanding
kamu. Jawabannya karena dia melakukan hal yang sama kepadaku. Dia menunjukkan
kelemahannya kepadaku, sehingga aku tidak merasa lemah sendirian. Tanggapannya
baik, setidaknya membuat sedihku berkurang, walau hanya sepatah kata semangat
yang bisa ia sampaikan. Aku memang anak yang punya banyak masalah, dari dulu
bahkan sebelum kita bertemu. Tapi sahabatku tidak pernah mencapku sebagai si
anak yang banyak masalah. Justru cappan itu baru aku terima dari kamu.
“Yang punya banyak masalah kan biasanya
kamu.” Itu yang kamu katakan padaku tempo hari, aku masih ingat bahkan
sampai sekarang. Jadi seperti itu ya yang kamu pikirkan soal aku selama ini?
Ternyata aku terlalu banyak masalah buat kamu. Terimakasih sudah memberitahu,
kamu membuatku sadar kalau mungkin orang lain juga akan berpikiran sama soal
aku. Terimakasih sudah menjadi alarm yang membangunkanku dari ruangan ekspetasi
yang kubangun sendiri. Iya, kamu membangunkanku dari fairy tale yang aku buat sendiri.
Aku tidak butuh
kata-kata gombal kamu, walau aku akui untuk beberapa momen, kata gombalan itu
menghiburku. Aku juga tidak butuh beribu-ribu kata manis kamu di ruang chat, kalau ternyata kamu mengucapkannya
hanya sekedar sebagai basa-basi di awal kata. Lalu setelah itu, kamu menghilang
lagi. Kamu membuat hubungan ini terasa seperti ditarik ulur. Kamu tidak
merasakannya—mungkin, tapi aku
sebagai perempuan yang mengandalkan perasaan daripada logika, sangat
merasakannya.
Terkadang kamu
bisa menjadi kunci pembuka dari ruang kelam penjara pikiranku, tapi terkadang
kamu juga bisa menjadi gembok yang mengunciku dalam ruangan kelam itu. Kata
kadang itu, membuatku jadi berharap, semisal hari ini kamu menjadi gembok, maka
dalam hati aku akan meyakinkan diri, mungkin
besok kamu jadi kunci lagi. Tapi sampai kapan kamu mau membuatku terus
berharap seperti ini? Kapan kamu bisa kembali menjadi kuncinya?
Hampir setiap
hari kamu memanggilku dengan panggilan yang kamu buat sendiri. Hampir setiap
hari kata-kata manis dan gombalan itu mengisi percakapan kita, entah itu saat
kita memutuskan untuk saling berbicara di telfon atau hanya sekedar mengetik di
ruang chat. Kata-kata manis itu
selalu sama, topik manis kamu juga selalu sama, sampai aku hapal apa yang akan
kamu ucapkan, apa yang kamu tanyakan, bahkan aku juga hapal dengan jawaban yang
akan aku ucapkan. Intinya semua itu, manis sekali. Topik perencanaan-perencanaan
masa depan yang selalu sama, pujian-pujian yang selalu sama, dan gombalan-gombalan
yang sama. Di tengah manisnya topik itu, aku akan merusaknya dengan membawa
topik jika kita putus, atau bagaimana
jika pada akhirnya tidak bersama. Maaf ya, tapi aku harus melakukannya agar
kata-kata dan topik-topik manismu itu tidak menutup mataku, tidak membuatku
terus terbang sampai lupa… daratan dimana
ya?
Suatu hari yang
lain, kamu pergi nongkrong bersama teman-teman kelas. Aku tidak ikut saat itu
karena memang masalah izin selalu menjadi kendala. Kamu terlihat senang, yaa…
siapa juga yang tidak senang pergi nongkrong ya kan? Aku melihat semua itu dengan pandangan ingin—dalam artian
ingin pula ada di sana, tapi pikiranku selalu merusak suasana. Ditengah
perasaan ingin, batin ini bertanya memangnya
mereka—kamu mengharapkan aku di sana?
Lalu beberapa
hari setelah acara nongkrong kamu, kita berkesempatan pergi berdua. Entah topik
yang sedang kita bicarakan, tiba-tiba kamu menceritakan soal percakapanmu
dengan salah satu teman kita. Dia bertanya ketidakhadiranku dan kenapa kamu
tidak menjemputku saja. Tidak tau dan malas adalah jawabanmu, jangan lupakan
nada aneh yang kamu pakai saat ber-acting
menjawab pertanyaan itu.
Kamu mau tau apa
isi pikiranku saat itu? Kenapa jahat sekali jawabanmu? Kemana kata-kata manis
yang kamu katakan padaku. Apakah selalu seperti itu caramu menjawab jika ada
yang menanyakan sesuatu soal aku? Apa sejahat itu kalimatmu ketika
mendeskripsikan aku? Ternyata, kamu tidak menginginkan kehadiranku. Batinku
benar, kamu akan baik-baik saja tanpa aku. Itu hal yang bagus, tapi kenapa aku
sedih ya?
Di hari yang
lain, aku akhirnya ikut nongkrong. Aku pergi bersama teman-teman perempuan,
sedangkan kamu bersama teman laki-lakimu. Ah aku ingat persis, ramai sekali
waktu itu. Saat itu teman-teman tongkronganmu juga ada di sana, untukku rasanya
canggung sekali karena aku tidak percaya diri dengan diriku sendiri. Sebenarnya
aku takut saat itu, takut bagaimana jika kamu malu dengan keberadaanku? Ya,
kamu bisa lihat sendiri, aku tidak secantik itu untuk bisa kamu pamerkan, aku
tidak secerdas itu untuk bisa kamu banggakan.
Kemudian, kamu
mendekati tenpat dudukku dan teman-teman cewek. Kamu menanyakan keberadaan
seorang teman perempuan—atau mungkin dua orang perempuan yang aku tau memang
mereka teman yang dekat untuk kamu—bahkan kamu menyarankan dia untuk segera
datang. Kamu bahkan menawarkan hpmu atas saran teman-temanku untuk dipakai
menghubungi si perempuan yang kamu inginkan datang. Teman-temanku mengajaknya,
tapi dia menolak karena tidak bisa. Lalu kamu bertanya gimana? dan ketika temanku menjawab dia menolak datang, kamu sampai
mengambil hpmu kembali untuk sekedar mencoba mengajak dia lagi.
Ah, aku ingat
sekali saat itu, kamu terus mencoba agar satu temanku itu datang, bahkan kamu
sampai menawarkan diri untuk dia menjemputnya sendiri. Ah aku ingat ekspresi
dan nadamu yang seolah berbicara ingin sekali perempuan itu datang. Usahamu
lumayan keras, hanya untuk kehadiran dia. Akupun mengerti, seingin itu ya kamu akan kehadirannya? Soalnya keras sekali usahamu yang
terlihat sampai teman-temanku juga melihat usaha itu.
Jika kamu memang
seingin itu dia datang, tolong jangan tunjukkan itu di depan mataku. Rasanya
tidak enak tau. Kamu sadar tidak, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan itu
dari kamu. Berbanding terbalik dengan apa yang kuceritakan di atas kan?
Dibanding meneleponku dan membujukku datang sama seperti yang kamu lakukan
untuk teman perempuanmu, kamu memilih untuk mengatakan malas. “Maleh ma, nyo jauh.” Ah, bukan berarti
aku bilang kamu tidak pernag membujukku. Kamu pernah, tapi secepat kamu aku
bilang tidak, secepat itu juga kamu berhenti dan menerima ketidakhadiranku. Aku
ingat tau.
Ternyata kamu
sangat baik-baik saja ya tanpa aku. Terimakasih sudah memberitahu, aku jadi
tidak termakan kata-kata manismu melulu.
Kamu tau tidak
apa yang lucu dari kita? Kita akan jauh lebih dekat ketika kita berada di
negara yang berbeda, dibanding kita berada di kota kecil yang sama. Saat kamu
berada di negara itu, kamu selalu mencariku, menghubungiku, meminta atensiku, bahkan
kamu memberikanku atensi yang banyak sekali. Kamu benar-benar merecoki, tidak
peduli jika aku sibuk atau mengantuk sekalipun. kamu selalu mencariku. Awalnya
aku senang, tapi lama-lama aku sampai di titik kamu terlalu menggangguku di
tengah kesibukanku. Ketika aku sedang ingin me
time, kamu akan selalu merengek supaya aku stay di kamu. Intinya yang penting kita harus terhubung, walau kita
sibuk dengan kehidupan kita masing-masing.
Aku kesal jujur,
tapi kekesalan itu aku enyahkan karena pikiran, Bisa saja aku akan kehilangan sosok dan tingkahmu yang seperti ini.
Bisa saja esok kamu akan jarang sekali menghubungiku. Bisa saja besok kita ada
di fase saling tidak memedulikan, saling tidak menghubungi, saling tidak
menghargai kehadiran satu sama lain. Karena pikiran seperti itu rasa
kesalku seketika berganti menjadi rasa syukur. Rasa syukur karena kamu masih mencariku sekeras itu. Aku
harus menjaga kesempatan seperti ini, karena bisa saja kita yang seperti ini,
kamu yag seperti itu, tidak lagi akan aku temukan. Dan ternyata benar
perkiraanku itu. Kamu yang seperti itu, tidak aku temukan lagi sekarang. Belum,
mungkin besok kamu seperti itu lagi? kalau bukan besok mungkin lusa? Atau
lusanya lagi? Kamu membuatku terus berharap.
Itulah alasan
kenapa, aku selalu merespon walau aku sibuk sekalipun. Tidak apa-apa duniaku
dan kesibukanku kamu recoki. Aku senang kok. Aku akan berusaha jadi orang yang
selalu ada untuk kamu. Aku tau rasanya kesepian, aku tau rasanya sendirian, aku
tau rasanya tidak tau harus berbicara dengan siapa, dan aku tau rasanya
berharap tiba-tiba seseorang hadir untuk menemani. Aku tau rasanya dan aku
tidak mau kamu merasakannya juga. Masalah keluargaku memang banyak dan ada-ada
saja, tapi justru dari masalah itu pula aku banyak mendapatkan pelajaran. Aku
jadi mengerti definisi menghargai dan menjaga sebaik mungkin apa yang aku
genggam.
Kamu tau
keadaanku akhir-akhir ini, mental
breakdown. Masalahku yang satu ini benar-benar serius, tapi kuusahakan
untuk menahannya supaya kamu tidak semakin mencappku sebagai si anak yang banyak masalah. Di depan orang
lain, termasuk di depan kamu, aku berusaha untuk menjadi sebaik-baik saja yang
aku bisa. Aku tampakkan senyum lebarku, rasa antusiasku, supaya kamu juga
nyaman bersamaku. Kamu sendiri yang bilang kepadaku kalau aku yang seperti ini
adalah beban pikiran kamu, masalah yang ada pada hubungan kita. Aku tidak bermaksud menambah
pikiran kamu, maaf ya.
Aku setiap hari
berjuang menahan dan memendam semuanya sendiri. Aku sedikit berbangga hati
karena ternyata aku kuat ya berpura-pura seperti ini. Aku bisa
menyembunyikannya di depan orang lain—ya emang dari dulu aku pintar sih soal
itu. Ada kalanya di tengah-tengah kondisiku yang sedang down, aku membutuhkan genggaman orang lain. Dulu kamu selalu datang
waktu yang tepat, tapi sekarang kamu hilang. Bahkan kamu tidak menanyakan
kabarku walau kamu tau kondisiku. Hanya ada dua orang yang menanyakan kabarku,
sahabatku dan seorang teman dekat yang aku temukan waktu SMA. Presensi mereka
ada, justru presensi kamu yang tidak ada. Ah aku ingat, saat itu kamu sedang
senang-senangnya dengan duniamu. Aku sibuk bersama teman-temanmu. Aku mengerti
kok. Tidak apa-apa.
Aku ralat. Kamu
ada, tapi hanya sepersekian menit kehadiranmu itu. Rasanya kehadiranmu itu sekedar
pelepas utang saja, tanda hari ini kamu sudah menghubungiku. Seperti
gombalan-gombalanmu tiap hari itu, setiap hari aku terima. Aku sudah kenyang,
gombalanmu tidak berpengaruh apa-apa lagi. Dalam hubungan ini, aku memerlukan
isi pikiran kamu, manfaat yang bisa saling kita beri untuk jadi lebih baik,
atau berbagi cerita tak penting sekalipun untuk sekedar bahan penggoyang perut.
Gombalanmu memang menyenangkan, tapi kalau setiap hari yang kamu berikan itu
hanya gombalan melulu, apa manfaatnya? Aku itu rindu kamu, bukan rindu
gombalanmu.
Karena setiap
hari gombalan yang kamu berikan, aku jadi tidak tahu cara untuk memperpanjang
cerita seperti dulu. Aku benar-benar tidak tahu harus membahas apa lagi,
padahal dulu ada saja yang mau dibahas. Mau curhat masalah, nanti suasana jadi
suram, nanti beban pikiranmu bertambah lagi seperti yang kamu katakan dulu
kepadaku. Mau bahas masa depan? Kamu selalu membahas itu beribu-ribu kali. Mau
bahas masalahmu, tapi kamu bilang kamu tidak punya masalah—kan di sini aku yang
banyak masalah. Mau berbagi keseharianku, keseharianku itu-itu saja, tidak
menarik. Mau membahas keseharianmu, kamu juga akan menjawab hal yang sama, kamu
bilang keseharianmu juga membosankan. Mau main QNA, Aku melulu yang bertanya
sampai kamu membuatku kebingungan harus bertanya apa lagi cuma karena aku ingin
terus berbicara denganmu. Giliran aku suruh kamu yang bertanya, aku bilang kamu
tidak tau mau bertanya apa. Aku jadi penasaran, memang kamu sudah sekenal itu
ya denganku sampai tidak lagi ada pertanyaan? Kamu belum kenal aku sebaik itu.
Jadi kamu dulu
sesulit ini ya cari topik pembicaraan. Maaf ya, dulu aku jual mahal. Aku kira
mencari topik pembicaraan itu mudah. Ternyata sulit ya dan akan semakin sulit
kalau responmu seperti sedang tidak mau berbicara. Mana bisa aku memaksakan
orang untuk bercengkrama jikalau orang itu sedang tidak mau.
Akupun
menyimpulkan, kamu mencariku hanya ketika kamu merasa sendiri. Namun, jika kamu
sedang dalam keramaian, sedang ada kesibukan, sedang teman, kamu tidak akan
mencariku. Mengabariku saja tidak. Sudah tidak mau mengabari, tidak pula
berbagi cerita apa-apa. Jadi arti kehadiranku apa? Sebagai teman dalam
kesendiran saja? Seperti yang aku katakan, kamu baik-baik saja tanpa aku. Aku
jadi penasaran, jikalau suatu hari aku menghilang, kamu mencariku tidak ya?
Maaf ya, aku
banyak mengeluh, padahal selama ini, selalu kamu yang membuka percakapan di chat. Aku jarang bukan karena tidak mau,
aku mau, tapi aku takut. Takut jika aku terlalu sering mencarimu, kamu akan
muak dan terganggu. Aku takut jika aku terlalu sering mencari dan mengabari,
kamu jadi menganggapku remeh. Menganggapku pengganggu ketika kamu punya duniamu
sendiri yang harus kamu urusi. Aku takut kamu jadi besar kepala, lalu tidak
menghargai kehadiranku. Aku tidak mau bergantung walaupun aku mau, aku tidak
mau terlalu menjadikanmu sandaran, walaupun aku mau. Seperti kataku tadi, aku
tidak mau terlalu mengikat. Karena laki-laki itu semakin diharapkan, dia akan
semakin mudah pergi. Semakin aku ikat, semakin ingin kamu lepas.
Aku selalu
mendoakanmu, aku selalu mikirin kamu. Namun, kadang-kadang aku bertanya, ada
tidak ya orang yang berdoa untukku, apa kamu mendoakan aku sebanyak aku
mendoakan kamu? Apa kamu memikirkan aku sebanyak aku memikirkan kamu? Apa
jangan-jangan aku hanya sendirian yang seperti ini?
Waktu itu aku
bertanya, “Kalau aku bukan diriku yang sekarang, kalau aku jadi seseorang yang
manja dan selalu membutuhkan atensi, apa kamu bertahan?”
Lalu kamu jawab,
“Kalau manjamu seperti selalu menghungi lewat chat, aku akan baca, tapi empat jam kemudian baru aku jawab.”
Aku sadar,
menjadi manja kepadamu tidak benar. Menjadi manja justru membuatku tambah sedih
dengan respon yang seperti itu. Padahal aku bertanya itu karena mungkin kamu
kurang merasa dibutuhkan olehku, mungkin aku terlalu cuek, tetapi sepertinya
kamu senang dengan perempuan yang tidak terlalu mengganggu hidupmu rupanya,
Kamu senang dengan perempuan yang bisa mengurus hidupnya sendiri. Kalau seperti
itu terus bahkan jika kita ternyata memang berjodoh, dan kamu tetap ingin aku
seperti itu, maaf aku tidak kuat. Kalau aku bisa mengurus hidupku sendiri,
justru tidak ada gunanya menikah untukku.
Pernikahan bukan
soal punya anak, punya kerjaan bagus, hidup bersama. Bukan, ada koneksi yang
lebih dari itu. Kalau kamu bersamaku, dan yakin ingin bersamaku karena aku bisa
mengurus hidupku sendiri, karena aku mandiri, dan apapun yang kamu pikirkan
soal kemandirianku, aku tidak kuat. Aku tidak semandiri yang kamu pikirkan. Aku
juga butuh orang lain yang bisa mengayomi dan melindungku, yang tidak masalah
hidupnya aku recoki karena masalah dan keluh kesahku yang terbiasa aku pendam,
yang bisa membuatku terlindungi, yang bisa membuat cerita lama keluargaku tidak
terulang lagi, yang bisa membuatku jadi lebih baik setiap hari tentu saja, yang
bisa membuatku menjadi manja tanpa takut dia merasa sungkan. Aku butuh orang
seperti itu. Kalau akhirnya kita mengurusi hidup masing-masing, terus berjauhan
seperti itu, apa gunanya? Maaf topik ini dewasa sekali, tapi aku ingin kamu
mengerti isi pikiranku soal pernikahan. Aku benar-benar tidak kuat kalau pada
akhirnya di dalam pernikahanku nantipun, aku tetap memendam semuanya sendiri
karena takut orang terbebani. Aku butuh orang yang tidak masalah aku bebani. Makanya
saat itu aku bertanya kepadamu, tanyaku saat itu, “Bagaimana kalau akhirnya
kita memang sama-sama, ternyata aku tidak sesuai ekspetasimu?” Ini pertanyaan
serius. Aku tidak mau kamu menyesal. Aku tidak mau mengalami rasa keluarga yang
bermasalah lagi.
Sepertinya sudah
terlalu banyak kesedihan yang aku ceritakan, seolah kamu tidak pernah
memberikan kebahagiaan. Tenang, momen itu selalu ada. Aku rindu masa-masa kita
berdua diam-diam pergi ke kantin karena malu diceng-cengi anak kelas. Waktu itu
kamu membelikanku sebotol minuman manis rasa jeruk yang aku lupa merknya apa.
Aku rindu kamu yang dulu yang ada saja
kisah yang ingin dibagi dan masa kamu yang lagi full-full-nya memberi perhatian. Aku juga rindu kamu yang
sesederhana pergi jalan-jalan cuma pakai motor panas-panasan. Aku rindu kamu
yang dulu jadi tukang ojekku tiap hari, rindu kamu yang takut—aku juga takut,
mengantarkanku di depan rumah, jadi kamu berhentikan aku saja di simpang kecil,
rindu kamu juga yang mau cerita saja harus teriak-teriak saat di jalan karena
suara kita habis dimakan angin, lalu entah apa faedahnya, kamu mengusap-ngusap
dengkulku tanpa alasan. Aku juga rindu kamu yang dulu mau saja aku ajak makan
nasi uduk yang ada di dekat rumahku dibanding kamu yang sekarang yang suka
mengajak nongkrong ke kafe atau tempat tongkrongan mahal mu itu—menurutku. Aku
juga rindu momen kamu yang suka mengghibahi apa saja, termasuk mengghibahi
teman kamu sendiri yang bahkan tidak aku kenal. Aku rindu kamu yang tidak
sungkan menunjukkan tangisan, aku rindu kamu yang tidak malu menunjukkan
kelemahan kamu.Aku rindu kamu yang selalu berkata tidak ingin aku pergi. Aku
rindu kamu yang sesedehana itu. Sekali lagi aku rindu kamu, bukan rindu
gombalanmu. Banyak tau kebiasaan-kebiasaan yang dulu kita lakukan, tapi
sekarang tidak lagi.
Kemarin-kemarin
itu, ketika kamu menunjukkan air mata karena aku bilang aku akan pergi kembali
ke kota rantauku, aku terenyuh. Tidak tega, tapi terimakasih sudah mau
menitikkan air mata karena aku. Terimakasih karena bagiku air mata itu cukup
menjadi alasan untuk aku bertahan denganmu. Setidaknya air mata itu sudah cukup
meyakinkan aku kalau kamu sesayang itu. Terlepas entah air mata itu tulus atau
tidak, aku tetap berterimakasih. Setidaknya untuk berpura-pura butuh effort juga kan? Aku bercanda.
Aku membuat ini,
bukan karena aku ingin pergi apa lagi pergi
yang seperti itu. Tidak, aku masih mau hidup, hidup bersama orang-orang
yang aku sayangi tentu saja. Kita sama-sama berdoa semoga kita sama-sama
dikasih umur yang panjang. Aku membuat ini karena aku ingin kamu tau saja apa
yang kupendam. Tidak selamanya semua ini bisa kupendam.
Sebenarnya aku
ragu membuat ini, apalagi sampai mengirimkan ini ke kamu. Kalau ini pada
akhirnya sampai di kamu, tandanya aku ingin kamu tau. Maaf ya, kalau ternyata
semua ini malah terkesan menyalahkan kamu. Maaf kalau cerita ini malah membuat
kamu jadi merasa bersalah. Kalaupun kamu memang salah, kamu tidak salah sendirian.
Aku juga salah di sini. Maaf juga kalau setelah cerita ini ada di tangan kamu,
hubungan kita jadi canggung. Aku tidak menuntut apa-apa. Aku di sini cuma mau
bercerita, berkomunikasi, karena kita sudah lama tidak berkomunikasi dalam
seperti ini. Kamu bersikap seperti biasa saja, kamu tidak harus berubah, tetap
jadi dirimu sendiri saja. Aku tidak memaksa kamu. Kalaupun pada akhirnya kamu
tetap sama saja, tidak masalah. Selagi aku masih punya alasan untuk bertahan,
aku tidak akan kemana-mana. Itu saja, semoga harimu menyenangkan.
Komentar
Posting Komentar